Di masa kini, tentu sahabat UKM tidak lagi asing dengan yang namanya barcode. Hampir di setiap kemasan produk yang dijual di toko dan swalayan, baik itu roti, masker, air mineral, hingga makanan ringan, tercetak suatu kotak yang terdiri dari garis-garis vertikal tebal dan tipis. Inilah yang disebut barcode, dan biasanya tercetak rapih di salah satu sudut kemasan produk. Nah, barcode ini ternyata banyak kegunaannya, lho! Mulai dari mengidentifikasi jenis produk hingga mengawasi inventaris dan ketersediaan stok produk di suatu tempat.
Sebenarnya, apa sih barcode ini? Bagaimana cara penggunaannya? Teknologi apa saja yang digunakan? Yuk kita bahas di artikel Tips Bisnis ini.
Asal-Usul Barcode
Barcode pertama kali muncul untuk menjawab kebutuhan industri retail akan suatu sistem yang memuat dan menampilkan informasi atau gambaran besar setiap produk dengan lebih cepat. Barcode sendiri diperkenalkan pertama kali pada tahun 1932, saat Wallace Flint membuat sistem pemeriksaan barang untuk usaha retailnya. Awalnya, sistem ini hanya digunakan oleh perusahaan-perusahaan retail, sebelum kemudian diikuti juga oleh perusahaan-perusahaan industri. Sebelum sistem barcode muncul, perusahaan retail harus mengetik dan mencari manual data produk-produknya saat dibutuhkan.
Baru pada Oktober 1949, dua lulusan Drexel Institute Technology bernama Bernard Silver dan Norman Joseph Woodland berhasil membuat prototipe barcode untuk sistem pembacaan informasi produk secara otomatis saat proses checkout produk. Dan di tahun 1970, untuk pertama kalinya barcode digunakan secara komersial ketika Logicon Inc. Membuat Universal Grocery Products Identification Standard (UGPIS). Perusahaan pertama yang memproduksi perlengkapan barcode untuk perdagangan retail sendiri bernama Monarch Marking.
Tipe Barcode yang Digunakan Secara Luas Dalam Industri Retail
Umumnya, yang digunakan hampir semua pelaku industri adalah barcode berbentuk persegi panjang yang terdiri dari garis-garis tebal dan tipis berwarna hitam-putih dengan susunan angka di bawahnya. Barcode jenis ini hingga sekarang tetap menjadi yang paling banyak digunakan dan disebut barcode 1D (dimensi). Barcode 1D banyak digunakan di bisnis retail, apotik, perpustakaan, buku terbitan (ISBN), majalah (ISSN), kartu ID karyawan, kartu anggota organisasi atau kartu anggota pelanggan swalayan atau supermarket, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Namun, beberapa tahun belakangan muncul tren barcode baru, yaitu barcode 2D yang berbentuk kotak, hitam putih, dengan motif pixel yang terlihat random. Apa beda di antara keduanya? Barcode 1D (dimensi), membaca data secara horizontal, memuat informasi berupa angka dan bahasa, dengan kapasitas informasi kecil. Sedangkan barcode 2D membaca data secara horizontal dan vertikal, dengan tipe informasi lebih variatif, mulai dari sms, URL, nomor handphone/kontak, dan alamat email. Kapasitas infromasi yang bisa dimuat juga lebih besar. Biasanya, barcode 2D disajikan dalam bentuk QR Code, Aztec Code, dan lain-lain. Saat ini, yang umum digunakan untuk barcode digital adalah QR Code.
Teman-teman bisa melihat pemanfaatan QR Code di bandara ketika akan bepergian menggunakan pesawat. Saat proses check-in, kita biasanya diminta menunjukkan kertas kecil yang terdapat kode garis kotak-kotak untuk di-scan. Mulai tahun 2005, seluruh bandara di Indonesia harus menggunakan barcode 2D yang lebih aman, karena hanya barcode scaner 2D saja yang bisa membacanya.
Tak hanya itu, belakangan penggunaan barcode 2D juga dapat dilihat di koran-koran terkenal yang ada di Indonesia. Pada halaman depan koran-koran tersebut, terdapat barcode 2D berbentuk QR Code. Apa fungsinya? Dengan kode ini, kita bisa melihat koran tersebut secara digital lewat ponsel pintar milik kita. Caranya? Kita hanya perlu melakukan scan dari ponsel atau tablet kepadda QR Code yang terpampang di halaman depan tersebut. Mudah, bukan?
Bagaimana Cara Membaca Barcode?
Kedua jenis barcode memiliki cara pembacaan yang berbeda. Pada barcode 1D, ada tingkat ketebalan dari garis-garis barcode itu sendiri, yang masing-masing merepresentasikan suatu angka. Garis paling tipis berarti angka 1, dan paling tebal adalah angka 4. Standar barcode retail untuk negara Eropa dan seluruh dunia (kecuali Amerika dan Kanada) adalah EAN-13. EAN merupakan singkatan dari European Article Number dan angka 13 berarti sistem ini menggunakan 13 digit angka. Digit-digit ini merepresentasikan :
* 3 digit pertama menunjukkan negara di mana pabrik manufaktur terdaftar (kode negara)
* 5 digit selanjutnya merupakan kode yang diberikan kepada pihak produsen (manufacturer) dari wewenang penomoran EAN (manufacturer code).
* 5 digit setelahnya diberikan oleh produsen barang (manufacturer) untuk merepresentasikan suatu produk yang spesifik (product code).
Terkadang produsen juga menambahkan informasi digit ini dengan tanggal, atau kapan barang ini diproduksi dengan menaruh angka/digit tambahan. Hal ini akan membuat jumlah angka lebih banyak dari standarnya yang adalah 13 digit. Lain halnya dengan QR Code, yang bisa dibaca melalui titik-titik matriksnya. Kode-kode barcode ini kemudian digunakan oleh industri retail untuk mempercepat proses.
Saat ini, sudah ada organisasi yang mulai membangun standarisasi barcode secara internasional, yaitu GS 1. Jika data produk dan barcode sudah masuk GS 1, artinya produk kita sudah masuk database internasional dan lebih mudah untuk dilacak (perjalanan dan distribusinya) oleh negara mana pun. Biasanya, pelaku eksportir dan importir juga menggunakan barcode untuk proses pengiriman atau registrasi barang yang akan dikirim.
Bagaimana kemasan barcode yang diterima pasar retail?
Barcode yang diterima para pengelola pasar retail merupakan barcode resmi yang telah terdaftar di GS 1 –perusahaan penyedia jasa pembuatan Barcode skala internasional di Indonesia—dan bukan barcode yang dibuat sendiri olrh teman-teman UMKM untuk kebutuhan internal usaha. Alasannya masuk akal, karena dengan sistem pengkodean yang seragam, pengelolaan inventori produk akan lebih mudah, mengingat saat ini barcode dengan standar EAN-13 sudah berlaku lebih di 100 negara di dunia. Jadi, setiap nomor barcode yang sudah resmi terdaftar di GS1 memiliki kode unik dan tidak ada duanya di seluruh dunia.
Menggunakan Barcode Untuk Menembus Pasar Ekspor
Dengan sistem yang bisa terbaca hingga ke 100 negara di dunia, tentunya akan lebih mudah bagi kita untuk masuk ke industri ekspor jika menggunakan barcode. Untuk memperoleh barcode yang sifatnya universal, teman-teman UKM bisa langsung mendaftar ke GS 1, penyedia jasa pembuatan barcode di Indonesia.
Nah, bila kita telah membuat barcode di Indonesia, apakah perlu juga membuat barcode khusus untuk ekspor nantinya? Jika bicara ekspor, di luar barcode, biasanya untuk setiap kategori produk tertentu ada ketentuannya sendiri. Untuk biji kopi misalnya, ada standar-standar khusus karena bisa menjadi komoditi yang berbeda. Produk yang standarnya sama biasanya produk jadi, artinya produk yang sudah diolah. Untuk barcode sendiri, jika teman-teman UKM masih menggunakan kemasan, maka tidak perlu membuat barcode baru. Cukup dengan barcode yang sudah didaftarkan dari GS 1 tadi. Namun jika bentuknya bukan dalam kemasan dan justru menggunakan kontainer, maka sobat UKM harus mendaftarkan SSC Code, alias Serial Shipping Container Code yang merupakan kode pengiriman khusus untuk kontainer. Jika dalam jumlah lebih kecil, harusnya bisa menggunakan barcode yang sudah ada.
Kenyataannya, saat ini ada banyak UMKM yang membuat barcode sendiri, dan digunakan sendiri untuk keperluan produksi internal, tanpa mendaftarkannya ke Kemenparin. Bagaimana jika UKM tersebut kemudian ingin mengekspor produknya? Apakah harus mendaftar ulang barcode yang baru?
Untuk kasus seperti ini, jika penjualannya masih skala kecil atau door to door, tentu tidak apa-apa. Teman-teman UKM tidak memerlukan barcode untuk jenis penjualan seperti ini. Namun, akan lain halnya jika dikirimkan ke leve-level tertentu yang lebih tinggi dan dilakukan pengecekan. Umumnya, jika harus melewati perizinan distribusi dan masuk retail, produk taanpa barcode resmi tidak akan bisa masuk ke negara asing. Sebab ada standar-standar barcode yang harus dipenuhi.
Inilah uniknya sistem door to door, yang kadang bisa lewat tanpa pengecekan dan lolos. Apalagi jika produknya langsung bisa dikonsumsi karena sistem ini produknya langsung diterima sama konsumen atau pelaku reseller lain. Mungkin mereka pun tidak ada standar barcode, dan mungkin malah tidak terpakai. Konsumen pun lebih melihat ke ingredients. Banyak pelaku UMKM yang memanfaatkan hal ini dan berjualan door-to door di negara orang. Namun, jika ingin masuk ke retailer, harus barcode dengan standar resmi.
Penjelasan mengenai fungsi, manfaat, dan pentingnya barcode ini diharapkan bisa membawa teman-teman UKM lebih sadar terhadap persaingan global. Jika ingin produk diterima lebih luas, dalam jangkauan ekspor, tentunya kita harus selangkah lebih maju dan mengadopsi sistem identifikasi produk global. Dengan begitu, pintu persaingan pasar retail yang lebih menguntungkan akan mudah terbuka untuk produk kita, bukan? Jadi, jangan ragu untuk mendaftarkan barcode. Sebab sudah saatnya UKM naik kelas!
Sumber:
https://www.ukmindonesia.id/baca-artikel/402#%E2%80%8BUKM%20Wajib%20Tahu%20Sistem%20Barcode
Inisial M J A
Write a Comment